Guys, banyak sekali statement2 di masyarakat mengenai kisah
cinta nabi Muhammad SAW. Jika nabi memiliki banyak istri sehingga menjadikan
“patokan” bagi orang muslim itu kalo laki2 boleh beristri lebih dari satu alias
poligami. Statement ini beberapa orang pahami mentah2. Nabi Muhammad berpoligami
dengan tujuan dan faktor politik, agama, senioritas, simpati dan perintah
syarak. Sadly, this is unwell understood with some people.
Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah juga tanpa poligami. Beliau
mencintai Khadijah dan tidak membagi cintanya dengan wanita lain hingga
Khadijah wafat. Suatu ketika, dalam rumah tangga putri tercinta nabi, Fatimah
al Zahra dengan Ali bint abu tholib didengar oleh nabi sebuah kabar yang sangat
mengguncang hati nabi, bahwa Ali tengah melamar seorang perempuan pelosok. Namun,
dengan tegas dalam pidatonya di mimbar beliau sampaikan, “ada bani Hasyim ibn
Al Mughirah minta ijin padaku untuk mengawinkan ali bin abi tholib dengan putri
mereka, aku tidak mengijinkan, tiak mengijinkannya, dan tidak akan pernah
mengijinkannya! Kecuali kalau Ali mau menceraikan putriku lalu menikah dengan
putri mereka. Bagiku, Fatimah adalah belahanku. Apa yang tidak ia sukai, juga
tidak kusukai. Apa yang menyakitnya, juga menyakitiku.”
Kisah cinta Khadijah
bint Khuwailid
Khadijah jatuh cinta kepada Muhammad karena kejujuran,
kesopanan, bersih, dan sikap menjaga dirinya. Suatu hari Khadijah mempercayakan
barang dagangannya kepada Muhammad. Muhammad berangkat berdagang dengan budak
Khadijah, yakni Maisarah. Sepulang dari perjalanan, maisarah menceritakan
pengalamannya selama pergi berdangan dengan nabi. Diceritakannya bagaimana
muhammad menjual dan membeli barang, beriteraksi dengan orang, tak pernah
menipu, tak pernah bertengkar, dan pula kejadian aneh pada Muhammad. Tentang
awan yang berarak dilangit meneduhinya sepanjang perjalanan dari terik
matahari. Ketika berteduh dibawah pohon, seorang pendeta yahudi di bashra
mengatakan kepada maisarah bahwa para nabi lah yang berteduh di bawah pohon
ini. Akhirnya Khadijah menemui sepupunya yang monoteis dan percaya agama nabi
Ibrahim, yakni Waraqah bin naufal, sontak waraqah bangkit dan meminta Khadijah
mengulangi ceritanya. Setelah diulang lagi dan menyimak secara teliti, dia
berkata: tak ayal lagi itulah ciri2 nabi umat ini yang ditunggu2 itu.
Khadijah pun merasa gelisah, gak bisa tidur terus memikirkan
Muhammad. Pernah suatu hari, ada kejadian ketika Khadijah bersama teman2nya,
muncullah seorang yahudi. Laki2 itu terus berhenti tepat didepan mereka,
tertawa sejadi2nya. “telah tiba masa kedatangan nabi terakhir, siapa diantara
kalian dapat menjadi istrinya. Lakukanlah!” teriaknya. Teman2 khadijah
menganggap laki2 itu gila, namun Khadijah tak mengikuti teman2nya, dia terkesan
dengan kata2 laki2 itu. Hari2 terus berlalu, Khadijah memutuskan untuk berbagi
kegelisahannya dengan sahabatnya, Nafisah bint munyah.
“apa pendapatmu tentang Muhammad?”
“kenapa
kau bertanya begitu? Apa pedulimu?” setelah melontarkan pertanyaan itu, Nafisah
sadar apa sebenarnya yang bergolak di hati Khadijah.
Sadar bahwa sahabatnya telah mengetahui apa yang
sesungguhnya tersembuyi dihatinya, Khadijah makin berani bicara. “tetapi, mana
mungkin aku dengan Muhammad? Dia pemuda belia, dimuliakan ditengah kaumnya,
bersih nasabnya. Sedangkan aku wanita berumur 40, 15 tahun lebih tua darinya,
janda yang 2 kali bersuami. Apakah mau ia menerimaku?”
“Tidak
Khadijah!” meskipun umurmu sudah berkepala empat, ditengah kaummu kau memiliki
tempat terhormat, nasabmu agung, kau juga tampak muda dan kuat. Seperti masih
berusia 30 atau bahkan kurang dari itu. Dan jangan lupa, tidak sedikit orang
yang melamarmu, membincangkanmu setiap hari, tetapi kau tolak.”
“tetapi, manakah jarak antara hasratku dan hasrat Muhammad
bin abdillah, antara cintaku dan cintanya? Bagaimana ia bisa tau jalan menuju
aku? Nafisah apa yang kita bicarakan ini tak lebih dari seiris mimpi yang
sangat jauh, yang segera sirna saat air mata terjaga, ini hanya punya lamunanku
semata.”
“serahkan masalah ini padaku,
pasti beres.”
Nafisah menemui Muhammad, “Muhammad, aku nafisah bint
munyah. Aku datang membawa berita tentang seorang perempuan agung, suci, dan
mulia. Pokoknya ia sempurna, sangat cocok denganmu. Kalau kau mau, aku bisa
menyebut namamu disisinya.”
Muhammad terdiam. Kata2nya
mengejutkan beliau. “siapa dia?”
“Dia Khadijah bint khuwailid. Kau tentu sudah sangat
mengenalnya. Tidak usah kau jawab sekarang. Pikirkan dulu matang2. Besok atau
lusa aku akan menemuimu lagi.”
Dalam hati kecilnya Muhammad bertanya2, apakah mungkin
Khadijah mau kepadanya? Bukannya ia seorang perempuan yang cerdas, keagungannya
tak diragukan, kaya raya pula? Maukah ia bersuamikan seseorang yang belum lama
menjalankan bisnisnya? Atau apakah Khadijah menginginkan dirinya hanya atas
sebagai imbalan atas kejujurannya atau memang benar mencintainya?
Muhammad berkonsultasi dan meminta pendapat kepada paman2
yang lainnya. Melalui perdebatan dan pertimbangan yang matang, akhirnya mereka
sepakat untuk menerima tawaran Khadijah dan melamarnya segera.
Setelah menikah, Muhammad kemudian pindah ke rumah Khadijah.
Tak ada yang berubah pada diri Muhammad. Ia tetap seperti yang dulu, sifat2nya,
juga segala hal yang telah dikenal Khadijah sebelumnya. Khadijah sendiri sosok
istri yang mampu berharmoni dengan kehidupan suaminya, beliau yang selalu
mendukung nabi dalam suka dan duka, menenangkan dan membuat nyaman nabi ketika
beliau takut, gelisah, dan meyakinkan nabi disetiap kondisi apapun. Begitu pula
Muhammad, ia juga mencintainya. Diperlakukannya Khadijah sebagai istri,
sedangkan ia sendiri menjalankan segala urusan rumah tangga sebagaimana
seharusnya suami yang bertanggung jawab. Lebih dati itu, ia juga mengasuh 2
anak Khadijah, hindun dan hallah. Belia sangat mencintai keduanya dan sama
sekali tidak menganggap dirinya bapak tiri.
Keluarga Muhammad dan Khadijah makin semarak dengan lahirnya
beberapa orang anak, 2 orang putra bernama qasim dan Abdullah, dan 4 orang
putri bernama zainab, ruqayyah, ummu kulsum, dan Fatimah.
Saat masa pemboikotan islam ketika nabi berdakwah, nabi
dikejutkan oleh sebuah peristiwa pahit. Khadijah meninggal mendadak. Ia seakan
disambar begitu saja dari pangkuan nabi oleh tangan maut. Tangis pedihnya pecah
tanpa rasa. Tiang terkokoh dalam hidupnya tumbang sudah. Saat itulah beliau
kehilangan sosok penyeimbang sekaligus muara cinta dan kasih saying. Dialah Khadijah
bint Khuwailid.
Rumah nabi jadi gelap, karena pijar cahaya yang menerangi
seisi rumahnya padam sudah. Tak ada lagi keceriaan, karena rumah telah menjadi
lumbung aor mata kesedihan. Lama sekali nabi tidak berkeluarga setelah itu. Beliau
menduda, tak ada satupun wanita setara Khadijah dibelahan dunia. Hidupnya mengalir
dalam arus kenangan cinta Khadijah yang mempesona.
Semua orang prihatin kepada nabi. Bukankah untuk ketenangan
hidupnya, laki2 membutuhkan wanita, dan untuk memerlukan urusannya wanita
memerlukan laki2 juga. Tetapi nabi menepis fakta itu dan melakukan berbagai
kesibukan. Pada titik kehidupannya yang penuh tindihan kepedihan ini, beliau
sama sekali tidak membayangkan akan menikah dengan wanita lain, karena bayangan
Khadijah begitu melekat di hatinya. Tetapi rumah nabi tak berbeda dengan rumah
manusia pada umumnya. Kehadiran wanita mutlak diperlukan untuk menjaga rumah
dikala beliau pergi menjalankan misi risalah. Juga untuk merawat dan mengasuh
putri2 beliau, khususnya si bungsu, Fatimah al Zahra. Atas pertimbangan ini,
maka ketika salah seorang kerabat wanita beliau menawari menikah, beliau tidak
menolak. Ia mengusulkan agar beliau menikah dengan Saudah bint Zam’ah dan
sekaligus Aisyah, putri abu bakar.
Nabi hijrah ke madinah, namun bayangan Khadijah seharipun
tak pernah punah. Bahkan setelah beliau menikahi wanita2 lain. Nabi mengenang
segala yang berhubungan dengan Khadijah, barang2nya, perhiasanya, dan semua
kenang2nya. Beliau juga menghormati dan memuliakan setiap orang yang pernah
mengunjunginya, wanita, kerabat, maupun sahabat2nya.
Cerita diatas bersumber dari sebuah buku yang ditulis oleh
Dr. Nizar Abazhah dengan judul Bilik-bilik cinta Muhammad.
Komentar
Posting Komentar