Pada saat itu, Yaman berada dibawah kekuasaan Abyssinia, dan
Abrahah, seorang Abyssinia, menjadi gubernur disana. Ia membangun sebuah
katedral megah di shan’a dengan harapan dapat menyaingi Mekah sebagai tempat
ibadah haji terbesar di seluruh Arab. Ia membangunnya dengan pualan yang
diambil dari bekas istana Ratu Saba serta menghiasinya dengan emas dan perak.
Mimbarnya dibuat dari gading dan kayu hitam. Ia menulis surat untuk rajanya,
Negus. “wahai raja, aku telah membangun sebuah gereja untukmu. Kemegahannya
tidak pernah tertandingi oleh raja manapun sebelummu. Dan aku tak akan pernah
berhenti hingga dapat mengalihkan pusat haji orang-orang Arab kesana. Ia tidak
merahasiakan sedikitpun niatnya dan itu tentu mengundang kemarahan suku-suku
yang tersebar di seluruh Hijaz dan Najd. Akhirnya seorang dari suku Kinanah
yang memiliki hubungan nasab dengan Quraisy pergi ke Shan’a dengan maksud
meruntuhkan gereja itu. Ia melakukan itu hanya satu malam, ekmudian kembali
kerumahnya dengan selamat.
Ketiba Abrahah mendengar itu, ia bersumpah akan mebalas
dendam dengan menghancurkan Ka’bahsampai rata dengan tanah. Ia pun menyiapkan
pasiran besar-besaran untuk menyerang mekah dengan menempatkan seekor Gajah
dibarisan terdepan. Beberapa suku arab di utara Sjan’a berusaha untuk
menghalangi perjalanan mereka tetapi pasuka abasunia berhasil mengalahka mereka
dan menagnkap pemimpin mereka, Nufayl dari suku Khats’am. Sebgai tebusan
nyawanya, ia diminta menjadi penunjuk jalan.
Quraisy dan suku-suku lain disekitarnya mengadakan pertemuan
dewan perang. Mereka memutuskan bahwa percuma saja mereka melawan serangan
musuh. Sementara itu, Abrahah mengirimkan seorang utusan ke Mekah untuk menemui
pemimpin mereka disana. Ia berpesan bahwa mereka datang bukan untuk berperang
melainkan hanya ingin menghancurkan Ka’bah.dan jika ingin menghindari
pertumpahan darah, pemimpin Mekah harus menemuinya di kemah pasukan Abyssinia.
Abd muthalib kemudian bersama seorang putranya mengikuti untusan tersebut ke
perkemahan. Ketika Abrahah menyaksikan kedatanga Abd Muthalib ke singgasananya, ia begitu terkesan. Ia
menyuruh juru bicaranya menanyakan kepada juru bicaranya apa yang hendak ia
ajukan. Abd muthalib meminta agar 200 ekor untanya yang dirampas oleh pasukan
Abrahah dikembalikan. Abrahah sangat terkejut mendengar permintaan itu. Ia
sangat kecewa mendengarnya, karena menganggap Abd Muthalib jauh lebih
mementingkan unta-untanya ketimbang agamanya yang sedang terancam untuk
dihancurkan. Ad Muthaib menjawab, “aku adalah pemilik unta-unta itu, sementara
Ka’bah ada pemiliknya sendiri yang akan melindunginya.
Abd Muthalib kembali ke Quraisy dan menyarankan agar mereka
menyelamatkan diri ke atas bukit di dekat kota. Kemudian ia disertai beberapa
anggota keluarganya dan pemuka masyarakat yang lain pergi ke ka’bah. Mereka
berdiri di sisi ka’bah, memohon pertolongan Allah melawan Abrahah dan
pasukannya. Keesokan harinya, Abrahah bersiap-siap memasuki kota untuk
menghancurkan Ka’bah. Si Gajah yang dilengkapi senjata berada di barisan
terdepan. Pemandunya, Unays, segera mengarahkannya berjalan menuju Mekkah.
Tetapi Nufayl, sang tawanan penunjuk jalan, selalu berjalan bersama Unays dan
telah mempelajari aba-aba yang dimengerti gajah itu. Saat Unays memberi aba-aba
gajah itu bangun, Nufayl mendekati telinga besar sang gajah dan memberikan
komando untuk duduk berlutut. Dengan sangat mengejutkan dan mencemaskan Abrahah
dan pasukannya yang lain, gajah itupun perlahan-lahan kembali berlutut ke
tanah. Unays menyuruhnya untuk kembali berdiri, tetapu kata-kata Nufayl yang
masuk bebarengan ke telinga gajah itu lebih dekat dan lebih berpengaruh,
sehingga ia tak mau bergerak lagi. Pasukan Abrahah melakukan segala cara untuk
menggerakkan kaki gajah itu, sampai mereka memukul kepala dan muka gajah itu
dengan besi, tetapi ia tetap diam. Sebenanrnya itu sudah pertanda yang sangat
jelas bahwa mereka tak akan berhasil maju selangkahpun. Namun Abrahah telah
dibutakan oleh ambisi peribadinya atas kejayaan tempat ibadah yang dibangunnya
dan oleh nafsu untuk menghancurkan saingan besarnya. Jika mereka kembali ke
tempat kediamannya, pasti mereka luput dari sebuah rencana besar. Tetapi mereka
terlambat, langit di ufuk barat menghitam pekat dan suara-suara gemuruh
terdengar dengan suara yang semakin menggelegar, muncul gelombang kegelapan
yang menyapu dari arah laut dan menutupi langit diatas mereka. Sejauh jangkauan
pandangan mereka, langit dipenuhi beribu-ribu burung, tak terhingga jumlahnya.
Orang-orang yang berhasil selamat menceritakan bahwa burung-burung itu terbang
secepat burung layang-layang dan masing-masing membawa tiga batu kecil yang
membara, satu diparuhnya, dan yang lain dijepit dengan cakar di kedua belah
kakinya. Burung-burung itu menukik ke barisan sambil menjatuhkan batu-batu itu.
Setiap batu yang mengena pasukan langsung mematikan. Mereka langsung jatuh
terkapar dan tubuhnya langsung membusuk. Ada yang embususk dengan cepat, ada
pula yang membusuk perlahan-lahan. Tak semua orang terluka termasuk Unays dan
gajahnya, tetapi semuanya terkena wabah. Sebagian pasukan yang selamat tetap
tinggal di Hijaz dan bekerja sebagai pengembala. Tetpai sebagian besar
tentara-tentara intu kembali ke Shan’a dalam keadaan kacau balau, banyak yang
mati di perjalanan, dan abnyak pula, termasuk Abrahah, yang mati begitu sampai
di tempat. Sementara Nufayl, ia menyelinap pergi ketika para tetara sibuk
dengan gajah yang membangkang dan menyelamatkan diri ke lereng bukit dekat
Mekah.
Sejak peristiwa itu, Quraisy dikenal jazirah Abarab sebagai
“keluarga tuhan”, dan semakin dikagumi karena Allah mengabulkan doa-doa mereka
untuk melindungi Ka’bah dari kehancuran.
Komentar
Posting Komentar